PRODUK
OLAHAN HASIL FERMENTASI
“KEJU”
Keju adalah
produk susu yang paling banyak dikonsumsi. Secara umum pembuatan keju diawali
dari pasteurisasi susu, kemudian pemberian penggumpal, biasanya berupa enzim
yang berasal dari rennet atau mikroba yang dapat mengasamkan susu. Setelah
beberapa jam akan terpisah menjadi gumpalan besar dan bagian yang cair.
Gumpalan ini kemudian dipotong-potong, dipanaskan, dan dipress agar cairan yang
terkandung di dalamnya banyak yang keluar. Gumpalan dibentuk dan dicelupkan (atau
direndam) air garam atau ditaburi garam, untuk membunuh bakteri yang merugikan,
dan diberi jamur. Dan terakhir calon keju ini dimasakkan pada kondisi tertentu.
Kondisi serta lamanya pemasakkan tergantung dari jenis keju yang dibuat. Proses
penggumpalan susu pada awalnya menggunakan rennet sapi, bovine (dari keluarga
sapi), serta babi. Namun karena pertimbangan kehalalan produk serta segi
ekonomisnya, sehingga mulai dikembangkan pengganti rennet dengan memanfaatkan
peranan dari mikroba yang dapat mengasamkan susu. Mikroorganisme ini antara
lain bakteri, yeast, dan mold.
Ada dua belas
strain bakteri penggumpal susu, yang termasuk dalam delapan spesies yaitu, Brevibacterium
linens, Microbacterium folioforum, Arthrobacter arilaitensis, Staphylococcus
cohnii, Staphylococcus equorum, Brachybacterium sp., Proteus vulgaris
dan Psychrobacter sp.. Spesies yeast yang umumnya digunakan dalam
pembuatan keju yaitu Yarrowia lipolytica, Geotrichum candidum, dan
Kluyveromyces lactis. Pada literatur lain, menjelaskan bakteri yang
berperan dalam proses penggumpalan susu dari gram positif antara lain bakteri Staphylococcus,
Micrococcus, dan Coryneform. Sedangkan dari golongan gram negatif antara
lain Pseudomonas, Xanthomonas, Enterobacter, Hafnia, dan Proteus. Namun
penggunaan Proteus jarang digunakan karena umumnya menimbulkan
kontaminan. Penggunaan kominitas mikroba ini akan berpengaruh terhadap
karakteristik baik bentuk, tekstur, rasa dan aroma keju yang dihasilkan.
Terutama pada keju limburger, numster dan tilsiter yang menggunakan mikroba
berbeda-beda. Kultur starter dari bakteri jenis B. linens, ditambahkan
pada susu saat proses penggumpalan, kemudian gumpalan susu diberi penggaraman
dan dipress agar cairan yang masih terdapat pada gumpalan dapat dikeluarkan.
Setelah itu keju diberi parafin dan disimpan selama 12 minggu pada suhu 4-5˚C.
Saat proses pembuatan keju B. linens memproduksi enzim extra seluler
proteolitik yang mengandung proteinase dan yang digunakan pada proses pemasakan
tergantung dari dosis enzim dalam rasio aktivitas peptidase dan proteinase,
penyebaran distribusi enzim pada susu, spesifitas substrat, dan kemungkinan
enzim yang hilang pada saat penggaraman atau pengepressan dan saat naiknya suhu
saat pemasakkan. Dari hasil penelitian, keju yang dihasilkan dari penambahan
bakteri B. linens, memiliki rasa, aroma dan tekstur yang sama dengan
keju kontrol. Namun pada keju yang diuji kandungan trichloro acetic acid
(TCA)-nitrogen terlarut dan phosphotungstic acetic acid (PCA)-nitrogen
terlarut, meningkat pada saat pembuatan keju dan casein terdegradasi secara
luas. Pada saat pembuatan keju casein akan terdegradasi dan proses ini akan
ketika semua casein terdegradasi (Gosh, et al. 2003).
Kenaikan
kandungan aromatik yang terdapat pada keju umumnya berasal dari tiga jalur
metabolisme antara lain katabolisme laktosa dan asam organik, katabolisme
lipid, dan katabolisme protein. Aktivator dari ketiga jalur metabolisme ini
yaitu enzim endogenous bawaan dari susu, enzim penggumpal, dan enzim yang
berfungsi dalam proses pemasakan dan pembentukan tekstur keju, yang berasal
dari mikroba. Enzim dari mikroba yang mendegradasi asam amino antara lain,
deaminase, dekarboksilase, trans aminase, lyase, dan dehidratase. Reaksi ini
akan menghasilkan amina, aldehide, alkohol, asam, dan sulfur. Pemecahan asam
lemak akan memproduksi ester metil keton, secondary alkohol. Rasa dan aroma
yang terbentuk dari ester dan kandungan sulfur.
Ester yang
dihasilkan oleh bakteri P. vulgaris dan Psychrobacter sp.
Berpengaruh terhadap aroma keju. Kedua bakteri tersebut menghasilkan acetic
acid 2-phenylethyl esters dan propanoic. Sehingga keduanya berperan penting
pada pembuatan aroma keju gorgonzola dengan proses pemasakkan selama 12 bulan.
Pada Brachybacterium sp. Ditemukan hexanoic acid ethyl ester, ini
penting dalam pembuatan keju gorgonzola, grana padano, pecorino dan regusano
(jenis-jenis keju).
Selain ester,
golongan keton juga berperan penting dalam membentuk aroma keju, terutama
methyl ketone, ini mempengaruhi rasa dari produk-produk susu dan juga aroma
dari keju terutama dari jenis blue-veined. Keton umumnya diproduksi dari
aktivitas enzimatik dari mold, namun dari salah satu hasil penelitian dari
Deetae et al (2007) diketahui bahwa bakteri P. vulgaris dan Brachybacterium
sp. Mampu memproduksi 2-alkanone yang mengandung atom karbon, 2-pentanone,
2-heptanone, 2-nonanone, dan 2-undecanone, kandungan ini membentuk aroma dari
jenis keju roquefort, “Bleu des causses” dan “Bleu d’Avergne”. Aroma yang
terdapat pada blue cheese berasal dari methyl ketone, 2-oktanone, 2-nonanone,
2-decanone, dan 2-undecanone yang berasosiasi dengan aroma buah, dan bunga.
Pada keju cheddar, aromanya dari 2-butanone yang menyebabkan aroma seperti
butterscotch, yang diketahui sebagai aroma yang khas pada cheddar, ini diproduksi
oleh P. vulgaris yang berasosiasi dengan B. linens dan M.
foliorum. Selain itu ada jenis-jenis keton lain yang diproduksi oleh
bakteri asam laktat yang berperan dalam pembentukan aroma keju. Volatile
sulphur compounds (VSC) juga berperan penting dalam membentuk aroma keju.
Peranan VSC terdapat pada bermacam-macam tipe keju misalnya parmesan, cheddar,
dll. Mikroba B.linens, M. Foliorum, P. Vulgaris, dan Psychrobacter
sp. berperan penting dalam produksi VSC.
Degradasi
enzimatik dari L-methionine dan formasi subsequent dari Volatile Sulphur
compounds (VSC) berperan dalam pengembangan karakeristik aroma beberapa keju.
(Cholet, et al. 2008). Methanethiol (MTL) merupakan VSC yang umumnya ditemukan
pada proses pemasakan keju. Ini juga merupakan prekursor aroma sulfur yang lain
seperti dimethyl sulfida (DMDS), dimethyl trisulfida (DMTS), dan
S-methylthioesters. Aktivitas L-methionine aminotransferase pada P. vulgaris
dan strain Psychrobacter. L-methionine terdegradasi menjadi
methantiol selama jalur transaminasi yang diikuti oleh aktifitas enzimatik
dimetiolasi 4-methylthio-2-ketobutyric acid (KMBA), atau perubahan kimia dari
KMBA menjadi methantiol (MTL).
Selain pada
bakteri P. vulgaris dan Psychrobacter sp., dari golongan yeast, Yarrowia
lipolytica juga dapat menghasilkan dan mengubah L-methionine menjadi VSC
yang mempengaruhi rasa pada beberapa keju. Namun Y. Lipolytica tidak
dapat mengasimilasi laktat ketika ada L-methionine pada media ”calon” keju.
Sehingga dilakukan modifikasi genetik pada gen-gen yang mengatur transkripsi
enzim katabolisme L-methionine dan metabolisme piruvat yang berperan dalam
degradasi L-methionine. Sehingga diperoleh yeast dengan kemampuan meregulasi
L-methionine yang kuat dan mengandung jenis dan jumlah VSC yang besar, seperti
methanetiol dan produk autooksidasi (dimethyl disulfida dan dimethyl
trisulfida) (Cholet, et al. 2008).
Selain gen-gen
yang mengatur sintesis enzim, enzim itu sendiri juga ada yang dimodifikasi agar
dapat melakukan proses pembuatan keju seperti yang diharapkan. Enzim yang dapat
dimodifikasi yaitu L- dan D-lactic acid dan asam lemak. Enzim-enzim ini
berperan dalam proses pembuatan keju cheddar. Level lipolytic dari enzim yang
telah dimodifikasi, lebih tinggi dari keju cheddar biasa. Penambahan exogenous
asetat, laktat, dan butirat, juga mengindikasikan bahwa enzim yang telah
dimodifikasi dapat membentuk karakeristik rasa yang spesifik dan mengurangi pH
produk. Jadi produksi dari enzim pada keju cheddar, yang telah dimodifikasi
mampu meningkatkan manipulasi dari produk akhir glycolysis (laktat, propionat,
dan asetat) dan lipolysis untuk meningkatkan kualitas produk pada aplikasi yang
spesifik. (Kilcawley, et al, 2001). Modifikasi enzim yang diperoleh dari Lactobacillus
casei ssp. Ketika ditambahkan Neutrase mampu mengurangi rasa pahit pada
keju cheddar (Najafi dan Lee, 2007).
Menurut
Novikova dan Ciprovica (2009), pengembangan rasa dari keju merupakan proses
yang kompleks dimana enzim dari susu, rennet, kultur starter dan mikroba
tambahan yang meningkatkan degradasi protein susu, lemak dan karbohidrat.
Variasi bakteri asam laktat non starter (NSLAB) dan penyebarannya pada gumpalan
keju mempengaruhi varietas, proses pembuatan, dan kondisi pemasakan keju.
Pembuatan keju dengan menggunakan Lactobacillus spp. Dihasilkan keju yang
menghasilkan 30 aroma selama proses pemasakan.
Penelitian yang
dilakukan oleh Hynes, et al (2002) menunjukkan sepuluh strain dari Lactobacillus
yang ditambahkan pada proses pembuatan keju mampu mempengaruhi proses
pemasakan keju. Hal itu juga didukung oleh hasil penelitian dari Gummala dan
Broadbent (1999), bahwa catabolisme Trp dari Lactobacillus helveticus
dan L. Casei yang ditambahkan pada saat starvasi karbohidrat dan
menjelang proses pemasakan, akan mempengaruhi rasa dari keju yang dihasilkan.
Enzim yang di ekstrak dari Lactobacillus dapat meningkatkan reaksi
transaminasi dan dehidrogenasi. Enzim dari Lactobacillus mengandung
triptofan dekarboksilase. Degradasi triptofan akan mempengaruhi formasi
kandungan aromatik. Selain enzim-enzim yang berperan aktif dalam proses
pemasakan keju, perlakuan fisik juga mempengaruhi. Hasil penelitian dari
Tarakci dan Kucukoner (2006) menunjukkan bahwa pembungkusan kedap udara pada
saat pemasakan keju menyebabkan perubahan kemampuan lipolysis dan proteolysis
serta meningkatnya kandungan garam dan kelembutan keju.
Selain
perlakuan fisik pada keju saat pemasakan, perlakuan fisik pada enzim juga
mempengaruhi aktifitas enzim sehingga berdampak juga mempengaruhi proses
pembuatan keju. Salah satu teknik penggunaan enzim pada pembuatan keju,yaitu
dengan metode enkapsulasi. Metode ini bertujuan mengurangi hilangnya enzim saat
proses penggumpalan, pemisahan cairan, rusaknya enzim karena perlakuan fisik
atau distribusi enzim yang tidak merata pada susu. Melalui mekanisme enkapsulasi,
enzim akan ”dibungkus” dan dilepas pada saat tertentu saat enzim benar-benar
dibutuhkan aktifitasnya. Pada penelitian Kailasapathy dan Lam (2004), enzim
yang di-enkapsulasi yaitu enzim protease dengan menggunakan kapsul
K-carragenan, gellan, dan high melting fat fraction of milk fat (HMFF). Dari
ketiga jenis kapsul tersebut ternyata enzim yang di encapsulasi dengan
K-carragenan yang menunjukkan aktifitas proteolysis tertinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa K-carragenan mampu melindungi protease selama proses
pembuatan keju sehingga pada saat aktifitas protease diperlukan, enzim dapat
dilepaskan dari kapsul dan masih dapat bereaksi dengan baik. Sehingga keju
dapat terbentuk dengan sempurna.
Untuk setiap keju
memiliki perlakuan yang berbeda dalam pembuatannya, berikut ini adalah proses
manufaktur dalam membuat keju:
1.
Pasteurisasi
Sebelum pembuatan keju yang sesungguhnya dimulai, susu
biasanya menjalani perlakuan pendahuluan yang dirancang untuk menciptakan
kondisi optimum untuk produksi. Susu yang diperuntukkan untuk tipe keju yang
memerlukan pematangan lebih dari sebulan sebenarnya tidak perlu dipasteurisasi,
tetapi biasanya tetap dipasteurisasi. Susu yang diperuntukkan untuk keju mentah
(keju segar) harus dipasteurisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa susu keju
untuk tipe yang membutuhkan periode pematangan lebih dari sebulan tidak harus
dipasteurisasi di kebanyakan negara.
Susu yang
diperuntukkan untuk Emmenthal, Parmesan dan Grana asli,
beberapa tipe keju ekstra keras, tidak boleh dipanaskan melebihi 40°C, agar
tidak mempengaruhi rasa, aroma, dan pengeluaran whey. Susu yang diperuntukkan
untuk keju tipe ini biasanya berasal dari peternakan pilihan dengan inspeksi
ternak secara rutin oleh dokter hewan. Walaupun keju terbuat dari susu
yang tidak terpasteurisasi diyakini memiliki rasa dan aroma lebih baik,
kebanyakan produser (kecuali pembuat keju tipe ekstra keras) mempasteurisasi
susu, karena kualitas susu yang tidak dipasteurisasi jarang dapat dipercaya
sehingga mereka tidak mau mengambil risiko untuk tidak mempasteurisasinya.
Pasteurisasi
harus cukup untuk membunuh bakteri yang dapat mempengaruhi kualitas keju,
misalnya coliforms, yang bisa membuat “blowing” (perusakan tekstur)
lebih dini dan rasa tidak enak. Pateurisasi reguler pada 72 – 73°C selama 15 –
20 detik paling sering dilakukan. Meskipun demikian, mikroorganisme pembentuk
spora (spore-forming microorganism) yang dalam bentuk spora, tahan
terhadap pasteurisasi dan dapat menyebabkan masalah serius selama proses
pematangan. Salah satu contohnya adalah Clostridium tyrobutyricum, yang
membentuk asam butirat dan volume gas hidrogen yang besar dengan memfermentasi
asam laktat. Gas ini menghancurkan tekstur keju sepenuhnya (“blowing”), selain
itu asam butirat juga tidak enak rasanya.
Perlakuan panas
yang lebih sering akan mengurangi risiko seperti tersebut di atas, tetapi juga
akan merusak sifat-sifat umum keju yang terbuat dari susu, sehingga digunakan
cara lain untuk mengurangi bakteri tahan panas. Secara tradisional, bahan-bahan
kimia tertentu telah ditambahkan dalam susu keju sebelum produksi. Hal ini
untuk mencegah “blowing” dan perkembangan rasa tidak enak yang disebabkan oleh
bakteri tahan panas dan pembentuk spora (terutama Clostridium tyrobutyricum).
Bahan kimia yang paling sering digunakan adalah sodium nitrat (NaNO3), tetapi
pada produksi keju Emmenthal , hidrogen peroksida (H2O2)
juga digunakan. Meskipun demikian, karena penggunaan bahan kimia telah banyak
dikritik, maka cara mekanis untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang tidak
diinginkan telah diadopsi, terutama di negara-negara dimana penggunaan
inhibitor kimia dilarang.
2.
Biakan Biang
Biakan biang
merupakan faktor penting dalam pembuatan keju; biakan ini memiliki beberapa
peran.
Dua tipe utama
biakan yang digunakan dalam pembuatan keju:
a.
biakan mesophilic dengan suhu
optimum antara 20 dan 40 °C
b.
biakan thermophilic yang
berkembang sampai suhu 45 °C
Biakan yang
paling sering digunakan adalah biakan turunan campuran (mixed-strain), dimana
dua atau lebih turunan bakteri mesophilic dan thermophilic berada
dalam simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Biakan ini tidak hanya
memproduksi asam laktat tetapi juga komponen aroma dan CO2.
Karbondioksida sangat penting untuk menciptakan rongga-rongga di tipe keju
butiran dan tipe “mata bundar (round-eyed) ”. Contohnya keju Gouda,
Manchego dan Tilsiter dari biakan mesophilic dan Emmenthal
dan Gruyère dari biakan thermophilic .
Biakan turunan
tunggal (single-strain) terutama digunakan ketika obyek dipakai untuk
mengembangkan asam dan berkontribusi terhadap degradasi protein, misalnya pada
keju Cheddar dan tipe keju yang sejenis.
Tiga sifat
biakan biang yang paling penting dalam pembuatan keju yaitu:
a. kemampuan
memproduksi asam laktat
b. kemampuan memecah protein dan, jika
memungkinkan,
c. kemampuan memproduksi karbondioksida
Tugas utama
biakan adalah mengembangkan asam dalam dadih
Ketika susu
mengental, sel-sel bakteri terkonsentrasi dalam koagulum dan kemudian dalam
keju. Perkembangan asam menurunkan pH yang penting untuk membantu sineresis
(kontraksi koagulum disertai dengan pengurangan whey). Selanjutnya, garam
kalsium dan phosphor dilepaskan, yang mempengaruhi konsistensi keju dan
membantu meningkatkan kekerasan dadih.
Fungsi penting
lain yang dilakukan oleh bakteri pemroduksi asam adalah menekan bakteri yang
tahan pasteurisasi atau rekontaminasi bakteri yang membutuhkan laktosa atau
tidak bisa mentolerir asam laktat. Produksi asam laktat berhenti ketika semua
laktosa dalam keju (kecuali pada keju tipe lembut) telah terfermentasi.
Biasanya fermentasi asam laktat merupakan proses yang relatif cepat. Pada
beberapa tipe keju, seperti Cheddar, fermentasi harus lengkap sebelum
keju dipres, dan pada tipe lain dalam seminggu. Jika biakan juga mengandung
bakteri pembentuk CO2, pengasaman dadih disertai dengan produksi
karbondioksida, melalui aksi bakteri pemfermentasi asam sitrat. Biakan turunan
campuran dengan kemampuan mengembangkan CO2 sangat penting untuk
produksi keju dengan tekstur lubang-lubang bundar atau seperti bentuk mata yang
tidak beraturan. Gas yang berkembang awalnya terlarut dalam fase moisture keju;
ketika larutan menjadi jenuh, gas dilepaskan dan membentuk mata-mata. Proses
pematangan pada keju keras dan semi-keras merupakan efek kombinasi proteolitik
dimana enzim asli dari susu dan dari bakteri dalam biakan, bersama dengan enzim
rennet, menyebabkan dekomposisi protein.
3.
Penambahan lain
sebelum pembuatan dadih
Kalsium Klorida (CaCl2 )
Jika susu untuk
pembuatan keju merupakan kualitas rendah, maka koagulum akan halus. Hal ini
menyebabkan hilangnya “ fines ” (kasein) dan lemak, serta sineresis yang
buruk selama pembuatan keju.
5-20 gram
kalsium klorida per 100 kg susu biasanya cukup untuk mencapai waktu koagulasi
yang konstan dan menghasilkan kekerasan koagulum yang cukup. Kelebihan
penambahan kalsium klorida bisa membuat koagulum begitu keras sehingga sulit
untuk dipotong. Untuk produksi keju rendah lemak, dan jika secara sah
diijinkan, disodium fosfat (Na2PO4), biasanya
10-20 g/kg, bisa kadang-kadang ditambahkan dalam susu sebelum kalsium klorida
ditambahkan. Hal ini meningkatkan elastisitas koagulum karena pembentukan
koloid kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), yang akan
memiliki efek hampir sama dengan tetesan lemak susu yang terperangkap dalam
dadih.
Karbondioksida
(CO2)
Penambahan CO2
adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas susu keju. Karbondioksida
terjadi secara alami dalam susu, tetapi kebanyakan hilang dalam pemrosesan.
Penambahan karbondioksida dengan buatan berarti menurunkan pH susu; pH asli
biasanya berkurang 0.1 sampai 0.3 unit. Hal ini kemudian akan menghasilkan
waktu koagulasi yang lebih singkat. Efek ini bisa digunakan untuk mendapatkan
waktu koagulasi yang sama dengan jumlah rennet yang lebih sedikit.
Saltpetre (NaNO3 atau KNO3)
Masalah
fermentasi bisa dialami jika susu keju mengandung bakteri asam butirat (Clostridia)
dan/atau bakteri coliform. Saltpetre (sodium atau potassium
nitrate) bisa digunakan untuk menghadapi bakteri jenis ini, tetapi dosisnya
harus ditentukan secara akurat dengan merujuk pada komposisi susu, proses yang
digunakan untuk keju jenis ini, dan lain-lain; karena saltpetre yang
terlalu banyak juga akan menghambat pertumbuhan biang. Overdosis saltpetre bisa
mempengaruhi pematangan keju atau bahkan menghentikan proses pematangan.
Saltpetre dengan dosis tinggi bisa merubah warna keju,
menyebabkan lapisan-lapisan kemerah-merahan dan rasa yang tidak murni. Dosis
maksimum yang diijinkan sekitar 30 gram saltpetre per 100 kg susu. Dalam
dekade terakhir ini, penggunaan saltpetre dipertanyakan dari sudut pandang
kedokteran, dan juga dilarang di beberapa negara.
Bahan-bahan
pewarna
Warna keju dalam
cakupan yang luas ditentukan oleh warna lemak susu dan melalui variasi musiman.
Warna-warna seperti karoten dan orleana , pewarna anatto alami,
digunakan untuk mengoreksi variasi musiman di negara-negara dimana pewarnaan
diperbolehkan. Klorofil hijau (pewarna kontras) juga digunakan, contohnya pada
keju blueveined, untuk mendapatkan warna “pucat” yang kontras dengan
birunya biakan mikroorganisme di keju.
Rennet
Kecuali untuk
tipe-tipe keju segar seperti keju cottage dan guarg dimana
susunya digumpalkan/dikentalkan terutama oleh asam laktat, semua pembuatan keju
tergantung pada formasi dadih oleh aksi rennet atau enzim-enzim sejenis.
Penggumpalan kasein merupakan proses dasar dalam pembuatan keju. Hal ini
umumnya dilakukan dengan rennet, tetapi enzim proteolitik yang lain juga bisa
digunakan, dan juga pengasaman kasein ke titik iso-elektrik (pH 4.6-4.7).
Prinsip aktif
pada rennet adalah enzim yang disebut chymosine , dan penggumpalan
terjadi dengan singkat setelah rennet ditambahkan ke dalam susu. Ada beberapa
teori tentang mekanisme prosesnya, dan bahkan saat ini hal tersebut tidak
dimengerti secara menyeluruh. Bagaimanapun juga, hal ini jelas bahwa proses
berjalan dalam beberapa tahapan; secara umum dibedakan sebagai berikut:
a. transformasi
kasein ke parakasein di bawah pengaruh rennet
b. pengendapan
parakasein didalam ion-ion kalsium yang ada
Keseluruhan
proses ditentukan oleh suhu, keasaman, kandungan kalsium susu, dan juga oleh
faktor-faktor lain. Suhu optimum untuk rennet sekitar 40 °C, tetapi dalam
praktik biasanya digunakan suhu yang lebih rendah untuk menghindari kekerasan
yang berlebihan pada gumpalan.
Rennet
diekstrak dari perut anak sapi yang masih muda dan dipasarkan dalam bentuk
larutan dengan kekuatan 1:10000 sampai 1:15000, yang berarti bahwa satu bagian
rennet bisa mengentalkan 10000 – 15000 bagian susu dalam 40 menit pada 35 °C .
Rennet dari bovine (termasuk keluarga sapi) dan babi juga digunakan,
sering dikombinasikan dengan rennet anak sapi (50:50, 30:70, dll). Rennet dalam
bentuk bubuk biasanya 10 kali kekuatan rennet cair.
Pengganti
rennet hewan
Sekitar 50
tahun yang lalu, penelitian dimulai untuk menemukan pengganti rennet hewan. Hal
ini dilakukan terutama di India dan Israel karena penolakan para vegetarian
untuk menerima keju yang dibuat dengan rennet hewan. Di dunia Muslim,
penggunaan rennet babi sudah jelas hukumnya, dimana merupakan alasan penting
yang lebih jauh untuk menemukan pengganti yang sesuai. Ketertarikan produk
pengganti telah tumbuh lebih luas pada tahun-tahun terakhir karena keterbatasan
rennet hewan yang berkualitas bagus.
Ada dua tipe
utama pengganti bahan pengental:
a.
enzim penggumpal dari tanaman
b.
enzim penggumpal dari mikroorganisme
Penelitian
telah menunjukkan bahwa kemampuan penggumpalan pada umumnya baik dengan
persiapan yang dibuat dari enzim tanaman. Satu kelemahan adalah bahwa keju
sering mengembangkan rasa pahit selama penyimpanan.
4.
Pemotongan gumpalan
Pe-rennet-an
atau waktu penggumpalan pada umumnya sekitar 30 menit. Sebelum gumpalan
dipotong, sebuah tes sederhana biasanya dilakukan untuk menentukan whey
penghilang kualitas. Biasanya, sebuah pisau ditusukkan pada permukaan gumpalan
susu dan kemudian ditarik perlahan-lahan ke atas sampai terjadi pecahan yang
cukup. Dadih bisa dipertimbangkan siap untuk pemotongan ketika kerusakan
seperti gelas pecah/retak dapat diamati. Pemotongan dengan hati-hati memecah
dadih sampai ke dalam granule dengan ukuran 3-15 mm, tergantung pada tipe keju.
Semakin halus potongan, semakin rendah kandungan air dalam keju yang
dihasilkan.
5.
Pra-pengadukan
Segera setelah
pemotongan, granule dadih sangat sensitif terhadap perlakuan mekanik, itulah
sebabnya pengadukan harus dilakukan dengan lembut, tetapi cukup cepat, untuk
menjaga granule tercampur dalam whey. Sedimentasi dadih di dasar tong
menyebabkan pembentukan bongkahan-bongkahan. Ini membuat kerusakan pada
mekanisme pengadukkan, dimana pasti sangat kuat. Dadih keju rendah lemak
cenderung kuat untuk tenggelam di dasar tong, yang berarti bahwa pengadukannya
harus lebih sering daripada pengadukan untuk dadih keju tinggi lemak.
Bongkahan-bongkahan bisa mempengaruhi tekstur keju, juga menyebabkan hilangnya
kasein dalam whey.
6.
Pra-pengeringan
whey
Untuk beberapa
tipe keju, seperti Gouda dan Edam, diinginkan untuk membersihkan
granule dengan jumlah whey yang banyak sehingga panas bisa disuplai dengan
penambahan langsung air panas ke dalam campuran dadih dan whey, yang juga dapat
merendahkan kandungan laktosa. Beberapa produser juga mengeringkan whey untuk
mengurangi konsumsi energi yang dibutuhkan untuk pemanasan dadih secara tidak
langsung. Untuk setiap tipe keju, sangat penting bahwa jumlah whey yang sama –
biasanya 35%, kadang-kadang sebanyak 50% volume batch – dikeringkan setiap
saat.
7.
Pemanasan/Pemasakan/Pembakaran
Perlakuan panas
diperlukan selama pembuatan keju untuk mengatur ukuran dan pengasaman dadih.
Pertumbuhan bakteri pemroduksi asam dibatasi oleh panas, sehingga digunakan
untuk mengatur produksi asam laktat. Selain efek bakteriologi, panas juga
mendukung pemadatan dadih disertai dengan pengeluaran whey (sineresis).
Tergantung pada
tipe keju, pemanasan bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Dengan steam di dalam tong/jaket tong
saja.
b.
Dengan steam di dalam jaket
dikombinasikan dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey.
c.
Dengan penambahan air panas ke dalam
campuran dadih/whey saja.
Waktu dan suhu
untuk pemanasan ditentukan oleh metode pemanasan dan tipe keju. Pemanasan
sampai suhu diatas 40 °C, kadang-kadang disebut pemasakan, biasanya dilakukan
dalam dua tahap. Pada 37 – 38°C aktivitas bakteri asam laktat mesophilic terhambat,
dan pemanasan terhenti untuk mengecek keasaman, setelah itu pemanasan berlanjut
sampai suhu akhir yang diinginkan. Diatas 44 °C bakteri mesophilic ternon-aktifkan
secara keseluruhan, dan mereka mati pada suhu 52 °C antara 10 dan 20 menit.
Pemanasan
melebihi 44 °C biasanya disebut dengan scalding (pembakaran). Beberapa
tipe keju, seperti Emmenthal, Gruyère, Parmesan dan Grana, dibakar
pada suhu setinggi 50 – 56 °C. Hanya bakteri pemroduksi asam laktat yang paling
tahan panas yang bertahan pada suhu ini. Salah satunya adalah Propionibacterium
freudenreichii ssp. shermanii , yang sangat penting dalam pembentukan
karakter keju Emmenthal.
8.
Pengadukan
akhir
Sensitifitas
granule dadih menurun selama proses pemanasan dan pengadukan. Lebih banyak whey
diteteskan dari granule selama periode pengadukan akhir. Hal ini terutama
karena perkembangan asam laktat yang berkesinambungan, juga karena efek mekanis
pengadukan.
Durasi
pengadukan akhir tergantung pada keasaman yang diinginkan dan kandungan air
dalam keju.
9.
Pembersihan
akhir whey dan prinsip-prinsip penanganan dadih
Segera setelah
keasaman dan kekerasan dadih yang diinginkan telah tercapai – dan dicek oleh
produser – sisa whey dibersihkan dari dadih dengan berbagai cara, tergantung
pada tipe keju.
Keju dengan
tekstur granular
Salah satu cara
untuk mengambil whey adalah langsung dari tong keju; hal ini digunakan terutama
dengan membuka tong keju secara manual. Setelah pengeringan whey, dadih disekop
kedalam cetakan. Keju yang dihasilkan memperoleh tekstur dengan lubang-lubang/mata
tidak beraturan, juga disebut tekstur granular. Lubang-lubang tersebut terutama
terbentuk karena gas karbondioksida yang biasanya berkembang dengan biakan
biang LD (Lactococcus lactis, Leuconostoc cremoris dan Lactococcus
diacetylactis).
Jika
granule-granule dadih terkena udara sebelum dikumpulkan dan dipress, maka
mereka tidak menyatu secara lengkap; banyak kantong-kantong udara kecil berada
pada bagian dalam keju. Karbondioksida yang terbentuk dan dikeluarkan selama
periode pematangan mengisi dan memperbesar kantong-kantong ini secara bertahap.
Lubang yang terbentuk dengan cara ini berbentuk tak beraturan. Whey juga bisa
dikeringkan dengan memompa campuran dadih/whey melewati sebuah saringan yang
bergetar atau berputar, dimana granule-granule terpisah dari whey dan
disalurkan langsung ke dalam cetakan. Keju yang dihasilkan memiliki tekstur
granular.
10.
Perlakuan akhir dadih
Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, setelah semua whey bebas telah dibersihkan, dadih
bisa ditangani dengan berbagai macam cara, antara lain:
a.
ditransfer langsung ke cetakan (keju
granular)
b.
pra-pengepresan ke dalam sebuah blok
dan dipotong-potong dengan ukuran yang sesuai
untuk ditempatkan dalam cetakan (keju bermata bundar), atau
c.
dikirim ke cheddaring , fase
terakhir dimana meliputi penggilingan ke dalam kepingan-kepingan yang bisa
diasinkan kering dan digelindingkan atau, jika ditujukan untuk keju tipe Pasta
Filata , ditransfer tanpa diasinkan ke mesin pemasak-pengulur.
11.
Penekanan
(Pengepresan)
Setelah dicetak
atau digelindingkan, dadih dikenai penekanan (pengepresan) akhir, dengan tujuan
empat sekaligus :
a. untuk
membantu pengeluaran whey akhir
b. untuk
memberikan tekstur
c. untuk
membentuk keju
d. untuk
memberikan kulit pada keju-keju dengan periode pematangan yang panjang
Laju
pengepresan dan tekanan yang dilakukan disesuaikan terhadap setiap jenis keju.
Pengepresan seharusnya perlahan-lahan pada mulanya, karena tekanan tinggi yang
awal dapat menekan lapisan permukaan dan mengunci kelembaban dalam
kantong-kantong di badan keju.
12.
Pengasinan/Penggaraman
Pada keju,
seperti pada banyak makanan, garam biasanya berfungsi sebagai bumbu. Tetapi
garam memiliki efek-efek penting yang lain, seperti memperlambat aktifitas
biang dan proses-proses bakteri yang berkaitan dengan pematangan keju.
Pemberian garam ke dalam dadih menyebabkan lebih banyak kelembaban dikeluarkan,
baik melalui efek osmotik dan efek penggaraman pada protein. Tekanan osmotik
bisa disamakan dengan pembentukan pengisap pada permukaan dadih, menyebabkan
kelembaban tertarik keluar.
Dengan beberapa
pengecualian, kandungan garam keju adalah 0.5 – 2%. Blue cheese dan
varian white pickled cheese (Feta, Domiati), pada umumnya
memiliki kandungan garam 3 – 7%. Pertukaran kalsium dengan sodium dalam paracaseinate
yang merupakan hasil dari penggaraman juga memiliki pengaruh positif pada
konsistensi keju, yaitu keju menjadi semakin halus/lembut. Secara umum, dadih
yang dikenai garam pada pH 5.3 – 5.6 selama 5 – 6 jam setelah penambahan biakan
utama, menyebabkan susu tidak mengandung zat-zat penghambat bakteri.
Pengasinan
kering
Pengasinan
kering bisa dilakukan baik secara manual maupun mekanik. Garam dituangkan
secara manual dari sebuah ember atau kontainer yang mengandung jumlah yang
cukup, disebarkan secara merata diatas dadih setelah semua whey dibersihkan.
Untuk distribusi yang lengkap, dadih diaduk selama 5 – 10 menit.
Ada berbagai
macam cara untuk mendistribusikan garam pada dadih secara mekanik. Salah
satunya sama dengan yang digunakan untuk dosis garam pada kepingan-kepingan ( chips
) cheddar selama tahap akhir proses melalui mesin cheddaring yang
berkelanjutan.
13.
Pematangan dan Penyimpanan Keju
Pematangan
Setelah
pendadihan, semua keju, terpisah dari keju segar, melalui serangkaian proses
mikrobiologi, biokimia dan karakter fisik.
Perubahan-perubahan
ini mengakibatkan laktosa, protein dan lemak menjadi suatu siklus pematangan
yang sangat bervariasi antara keju keras, sedang, dan halus/lembut. Perbedaan
yang signifikan bahkan terjadi di dalam masing-masing grup ini.
Dekomposisi
laktosa
Teknik-teknik
yang telah ditemukan untuk membuat jenis-jenis keju yang berbeda selalu
ditujukan kearah pengontrolan dan pengaturan pertumbuhan dan aktifitas bakteri
asam laktat. Dengan cara ini ada kemungkinan untuk mempengaruhi secara simultan
baik level maupun kecepatan fermentasi laktosa. Telah dinyatakan sebelumnya
bahwa dalam proses pembuatan Cheddar, laktosa terfermentasi sebelum
dadih digelindingkan. Pada jenis-jenis keju yang lain, fermentasi laktosa
sebaiknya dikontrol sedemikian rupa sehingga kebanyakan dekomposisi laktosa
terjadi selama pengepresan keju dan, yang terakhir, selama minggu pertama atau
mungkin pada dua minggu pertama penyimpanan.
Asam laktat
yang diproduksi dinetralisir sampai dalam jumlah yang besar di keju dengan
komponen buffering dari susu, dimana kebanyakan yang telah termasuk
dalam gumpalan. Asam laktat kemudian hadir dalam bentuk laktat pada keju yang
telah lengkap. Pada tahap selanjutnya, laktat memberi substrat yang cocok untuk
bakteri asam propionat yang merupakan bagian penting flora mikrobiologi dari Emmenthal,
Gruyère dan tipe-tipe keju sejenis.
Disamping asam
propionat dan asam asetat, terbentuk karbondioksida dengan jumlah yang
signifikan, dimana merupakan penyebab langsung pembentukan mata bundar yang
besar pada tipe keju yang disebutkan di atas. Laktat juga bisa dipecah oleh
bakteri asam butirat, jika kondisinya sebaliknya tidak bagus untuk fermentasi
ini, dimana terbentuk hidrogen sebagai tambahan asam lemak dan karbondioksida
yang volatil tertentu. Fermentasi ini timbul pada tahap akhir, dan hidrogen
dapat menyebabkan keju menjadi rusak. Fermentasi laktosa disebabkan oleh adanya
enzim laktase dalam bakteri asam laktat.
Dekomposisi
protein
Pematangan
keju, terutama keju keras, dicirikan pertama dan terutama oleh dekomposisi
protein. Level dekomposisi protein mempengaruhi kualitas keju sampai tingkat
yang signifikan, kebanyakan mengenai konsistensi dan rasa. Dekomposisi protein
dihasilkan oleh sistem enzim dari:
a.
rennet
b.
mikroorganisme
c.
plasmin, suatu enzim pengurai protein
Satu-satunya
efek rennet adalah untuk memecah molekul parakasein menjadi polipeptida.
Pemecahan pertama oleh rennet membuat kemungkinan dekomposisi kasein yang lebih
cepat melalui aksi enzim-enzim bakteri daripada jika enzym-enzym ini harus
memecah molekul kasein secara langsung.
Pada keju
dengan suhu masak yang tinggi, keju yang dibakar seperti Emmenthal dan Parmesan,
aktifitas plasmin memainkan peranan pada pemecahan pertama. Pada keju-keju yang
halus-sedang seperti Tilsiter dan Limburger, dua proses pematangan
saling terjadi secara paralel, yaitu proses pemasakan normal pada rennet keju
keras dan proses pemasakan pada hapusan (bakteri) yang terbentuk di permukaan.
Pada proses yang disebutkan terakhir, dekomposisi protein berproses lebih jauh
sampai akhirnya ammonia diproduksi sebagai hasil aksi proteolitik yang kuat
dari hapusan bakteri.
14.
Penyimpanan Keju yang Sudah Jadi
Tujuan
penyimpanan adalah untuk membentuk kondisi eksternal yang penting untuk
mengontrol siklus pematangan keju sepanjang mungkin. Untuk setiap jenis keju,
kombinasi spesifik antara suhu dan kelembaban relatif ( relative humidity atau
RH) harus dijaga di dalam ruangan penyimpanan yang berbeda selama masa
tahapan-tahapan penyimpanan.
Tipe-tipe keju
yang berbeda membutuhkan suhu dan RH yang berbeda dalam ruang penyimpanan.
Kondisi iklim merupakan hal yang sangat penting untuk laju pematangan, berat
susut, pembentukan kulit dan perkembangan permukaan flora (di Tilsiter,
Romadur dan yang lain) – dengan kata lain untuk karakter total keju.
Keju dengan
kulit, kebanyakan biasanya tipe keras dan semi-keras, bisa diberi pelapisan
emulsi plastik atau parafin atau lapisan lilin. Keju tanpa kulit ditutup dengan
plastik film atau kantong plastik yang dapat menyusut.
a. Keju-keju
golongan Cheddar sering dimatangkan pada suhu rendah, 4-8 °C, dan RH
lebih rendah dari 80%, karena mereka biasanya dibungkus dalam plastik film atau
kantong dan dikemas dalam karton atau kerangka kayu sebelum dikirim ke toko.
Waktu pematangan bisa bervariasi dari beberapa bulan sampai 8 – 10 bulan untuk
memuaskan kegemaran konsumen yang beragam.
b. Keju-keju
seperti Emmenthal mungkin perlu disimpan dalan ruang keju “hijau” pada
suhu 8 – 12 °C selama 3 – 4 minggu diikuti dengan penyimpanan di ruang
“pemfermentasi” pada suhu 22 – 25 °C selama 6 – 7 minggu. Setelah itu keju
disimpan selama beberapa bulan dalam ruang pematangan pada suhu 8 – 12 °C.
Kelembaban relatif untuk semua ruangan biasanya 85 – 90%.
c. Tipe-tipe
keju dengan perlakuan hapusan/olesan ( smear-treated ) – Tilsiter,
Havarti dan yang lain – biasanya disimpan dalam ruang pemfermentasi selama
2 minggu pada 14 – 16 °C dan RH sekitar 90%, selama itu permukaan diolesi
dengan biakan khusus campuran smear dengan larutan garam. Sekali lapisan
smear yang diinginkan telah terbentuk, keju biasanya dipindah ke ruang
pematangan pada suhu 10 -12 °C dan RH 90% selama 2 – 3 minggu lagi.
d. Keju-keju
seperti Gouda dan yang sejenis, bisa disimpan pertama kali untuk
beberapa minggu di ruang keju “hijau” pada 10 – 12 °C dan RH sekitar 75%.
Setelah itu diikuti dengan periode pematangan sekitar 3 – 4 minggu pada 12 –
18°C dan RH 75 – 80%. Akhirnya keju dipindah ke ruang penyimpanan pada sekitar
10 – 12 °C dan RH sekitar 75%, dimana karakteristik akhir terbentuk.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar